Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) ingin agar transisi dari mobil konvensional (menggunakan internal combustion engine/ber-BBM) ke mobil listrik dilakukan secara alami. Tidak perlu dengan menetapkan batas akhir yang tegas untuk melarang penjualan mobil konvensional.
Sikap Gaikindo itu ditegaskan Ketua Umumnya Yohanes Nangoi, Selasa (22/5). "Kami menginginkan jangan sampai combustion engine langsung dimatikan. Karena yang saya dengar, katanya peraturan mematikan combustion engine akan dimulai 2030 sampai 2040," katanya. Tahun 2040 yang disampaikan Pak Yo -panggilan akrabnya- tampaknya menyitir apa yang disampaikan Menteri ESDM Ignatius Jonan pada 26 September 2017. Menteri Jonan menyebut tahun 2040 sebagai waktu untuk menghentikan penjualan mobil konvensional dan diganti mobil listrik.
Kegelisahan Ketua Gaikindo itu karena industri otomotif Indonesia sudah dibangun hampir 50 tahun dengan investasi yang sangat besar bisa terancam. Industri ini juga menyerap lebih dari 1.2 juta orang baik langsung maupun tidak langsung. Industri otomotif Indonesia juga sudah menjadi net eksportir mobil, lebih dari 200.000 unit pertahun. Kontribusi untuk negara di kisaran ratusan triliun rupiah.
"Tapi bukan berarti kami menentang, kami mendukung program ini," katanya.
Yohanes Nangoi mengatakan hadirnya mobil listrik memiliki dua tujuan, yang pertama mengurangi emisi gas buang dan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Menuritnya upaya mengurangi emisi gas buang harus dilakukan menyeluruh sejak dari sumber energinya. Jadi tidak sebatas mobilnya saja. Jika pembangkit listrik menggunakan batubara tidak ramah lingkungan, tujuan menekan emisi jadi sia-sia. "Kalau sumber listriknya menggunakan bahan yang rendah emisi, itu bagus sekali. Misalnya mempergunakan tenaga angin ataupun tenaga air. Tapi kalau masih menggunakan batu bara, emisinya masih tinggi," katanya.
Tantangan kedua adalah daur ulang baterai. Karena jangka waktu operasi baterai mobil listrik yang efisien sekitar 10-15 tahun. Menurut pria yang mengawali karir di PT Pantja Motor ini tahun 1994, Indonesia belum menguasai teknologi daur ulang baterai, Jika baterai tidak didaur ulang dan dibuang begitu saja, maka tujuan menciptakan kendaraan yang ramah lingkungan tidak terpenuhi. Menurutnya baru ada tiga negara yang bisa membuat dan mendaur ulang baterai jenis ini, yakni China, Korea Selatan, dan Jepang. Selain itu, baterai membutuhkan bahan baku Lithium yang harus diimpor dari Bolivia. Ini menimbulkan ketergantungan pada negara lain. "Karena itu pemerintah Indonesia sekarang merintis riset baterai nickel cadmiun," tambahnya.
Tantangan ketiga adalah membangun jaringan isi ulang listrik cepat (quick charging)dengan voltase tinggi. Membangun jaringan ini membutuhkan biaya besar untuk ukuran negara seperti Indonesia yang membentang Aceh hingga Papua. "Kalau hanya mengandalkan listrik rumah, isi ulang butuh waktu 8 jam," kata mantan wakil Presiden PT Astra Daihatsu Motor ini.
Jika Indonesia tidak menjawab tantangan ini, maka industri otomotif Indonesia hanya akan menjadi tempat merakit komponen saja. Semua komponen didatangkan dari luarnegeri dan dijahit di Indonesia. Paling banter Indonesia hanya membuat struktur body dan kerangka. Namun komponen utama dan termahal justru dihasilkan negara lain. Dengan kata lain, proporsi keuntungan terbesar akan mengalir ke luar negeri.
Daripada mematok deadline pada 2040, lebih baik membiarkan transisi secara alami. Ada banyak teknologi yang sekarang sudah bisa menekan emisi gas buang dan menghemat bahan bakar. Gaikindo menyarankan transisi bertahap dari mobil konvensional, ke hybrid lalu plug-in hybrid baru mobil listrik. Menurut Nangoi, setiap bulan sekitar 5 juta mobil konvensional dijual setiap bulan. Sementara mobil listrik volumenya hanya 30.000 ribu saja.